Breaking the Habit of Being Yourself

Membaca bagian satu yang terdiri dari lima bab di buku Breaking the Habit of Being Yourself oleh Dr. Joe Dispenza, rasanya seperti mendapat kemantapan untuk melanjutkan langkah. Memang beberapa info di dalamnya sudah kuketahui tiga belas tahun lalu. ‘Mestakung akronim semesta mendukung’ sangat viral saat itu. Namun, aku sebatas tahu bagaimana mengalami realitas yang belum terjadi. Sedang apa realitas dan mengapa realitas muncul, baru terjawab di bagian satu buku ini. Impian-impian yang bersifat kebendaan, mudah kuhadirkan dalam benak. Dan banyak dari keinginan itu terkabul. Tapi, keinginan yang bersifat mengubah karakter rasanya belum menemukan kemudahan. Tidak mudah mengubah diri untuk sabar. Makin kuat ingin sabar, makin hebat godaan untuk marah. Aku sempat sesak napas memikirkan semua itu.

Pencarian terus berlanjut. Mengapa aku kian menjauh dari cita-cita untuk bisa sabar? Apa betul aku yang sekarang adalah korban pengasuhan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan ortu dan keluargaku? Pada bab I, Quantum You, aku diingatkan bahwa aku tak bisa terus menerus memandang diri sebagai korban. Aku adalah subjek yang mampu menentukan nasib diri sendiri. Aku terkoneksi dengan kemungkinan-kemungkinan tak terbatas di medan quantum. Dalam diriku ada medan elektromagnetik yang mampu mengirim dan menarik beragam peristiwa yang mendukung kesejahteraan jiwa dan tubuhku. Aku hanya perlu memperbaiki alat agar lancar mengomunikasikan diri dengan probabilitas di medan quantum. Perbaikan itu berupa penyatuan pikiran dan perasaan. Keduanya harus  semufakat. Ketika permintaan emosional dan tujuan-pikiran selaras–memancarkan sinyal yang sama, maka medan quantum akan merespon keduanya dengan cara yang menyentak kesadaran panca indra. 

Kesejahteraan tubuh dan jiwa tidak otomatis terjadi lantaran hanya memahami adanya konektivitas diri dan medan quantum. Rupanya ketika mempertanyakan diri, muncul kenyataan hidup yang tidak mendukung adanya keterkaitan dengan medan quantum. Diri mendamba sabar. Kenyataannya ia  mudah terbakar. Kita mudah menuduh lingkungan eksternal yang membentuk diri yang sekarang. Padahal, semua informasi yang diterima diri dari lingkungan eksternal, mengambil bentuk dalam pengalaman dan pengetahuan. Keduanya tersimpan di koneksi-koneksi sinaptik otak dan lipatan-lipatan rumit materi kelabu. Kita memikirkan, mengalami, dan melakukan hal yang sama setiap harinya. Lalu bagaimana bisa mendamba sesuatu di luar rutinitas? Boleh jadi, dulu kita hanya menerima pengalaman dan pengetahuan itu. Kita yang mengijinkan keduanya terjadi dalam hidup. Setelah tahu kita punya kuasa untuk mengubah haluannya, karena tidak mendukung kesejahteraan jiwa dan tubuh, maka kita pula yang mampu mengakhirinya. Memperbaiki cara merasa dan berpikir. Tidak terikat pada pengalaman dan pengetahuan lama. 

Orang-orang besar berhasil melampaui lingkungan eksternal. Mereka tidak terpengaruh oleh pengalaman dan pengetahuan yang terindra. Mereka menjalani hidup sembari berperilaku selaras dengan intensitas pikiran dan perasaan yang mereka ciptakan. Gandhi misalnya, ia tak peduli dengan peristiwa-peristiwa dunia luar yang kian menjauhkan mimpinya (kemerdekaan India). Dia hanya tahu mimpinya telah nyata sebelum menjadi realitas.

Untuk menjadi diri baru, upaya selanjutnya adalah menghancurkan diri lama yang menghalangi kreatifitas berpikir. Pernahkah terlintas sebuah pikiran bahwa perilaku kita dikendalikan oleh tubuh, bukan pikiran? Misalnya pikiran menghendaki bangun pagi. Tapi tubuh tidak membangunkan diri pada waktu yang ditentukan? Mengapa itu bisa terjadi?

Setiap satu gagasan yang kita pikir dan rasakan, otak melalui neuro transmiter, akan mengirimkan sinyal ke tubuh. Ketika kita berpikir, merasa dan bertindak yang sama setiap harinya, maka tubuh akan akrab dengan ketiganya. Sehingga saat usia 30-an tahun,  saraf-saraf otonom kita telah terbentuk kuat. Tubuh menjadi tuan bagi kita. Tubuh mengendalikan sebagian besar aktifitas. Dengan kata lain, pikiran bawah sadar yang bekerja secara otomatis mengambil alih tanggung jawab dalam beraktifitas. Kita tak terlalu membutuhkan pikiran sadar. Lantas bagaimana menembakkan program baru dan menghancurkan program lama yang terlanjur tertekan di pikiran bawah sadar?

Tubuh yang mengambil alih kendali pikiran (bawah sadar) merupakan pelayan-objektif yang menerima perintah pikiran sadar. Saking objektifnya, ia tak mampu membedakan  antara emosi yang tercipta dari pengalaman eksternal dan emosi internal yang menambah kekuatan cengkramannya di otak. Seburuk apapun dunia eksternal menebar racun, dunia internal (penyatuan perasaan dan pikiran) tetap menjadi kontrol atasnya. Perubahan sirkuit-sirkuit otak terjadi bila kita berpikir dalam cara baru. Lalu mengalami emosi dari peristiwa yang belum menjadi realitas. Diri mampu mengatasi batasan-batasan lingkungan eksternal, tubuh, dan waktu.

Perubahan pun terjadi. Emosi dan pikiran itu semakin kuat bila kita melebur dalam probabilitas yang tak terbatas. Energi kita tersedot di dalamnya. Kita tak terlalu fokus lagi memperhatikan waktu yang terukur (waktu masa kini serasa masa lampau dan masa depan). Kita mampu melampauinya. Fokus terarah pada kebahagiaan yang belum menjadi realitas. Momen ini disebut in the flow. Sebuah momen saat manusia lebih besar dari lingkungan, tubuh dan waktu.

Momen in the flow menjadikan diri sebagai pencipta takdir. Saat itu berlangsung, kita mengaktifkan pusat kreatif otak, lobus frontal (berisi korteks prefrontal). Si lobus frontal merupakan CEO, tempat kesadaran, pengamatan. Lantaran perhatian adalah tempat di mana energi diarahkan, maka apa sih yang perlu mendapat perhatian? Kita perlu mengamati emosi-emosi otomatis, perilaku-perilaku refleks, pikiran-pikiran tak sadar. Apakah kita nyaman dengan semua yang kita akrabi itu? Apakah sudah benar energi tercurah padanya? Makin dalam pengamatan, makin luas keterjagaan dari kondisi pikiran tak sadar menuju sadar. Ketika dalam mode penciptaan, seseorang tak kan sempat lagi menganalisa, kapan, di mana, bagaimana sebuah program pikiran menjadi kenyataan. Dia sibuk bersyukur, merasakan kebahagiaan apa yang diidamkannya.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang yang Dirindukan Nabi Muhammad

Memakmurkan Masjid

Bermain di Kamar