Enam Butir Pertama Filosofi Pendidikan Charlotte Mason
Ketika mengingat kembali tingkah
laku anak-anak saya, seringkali saya takjub. Muncul rasa kasih sayang yang
besar di satu sisi, dan rasa kesal di sisi lain. Saya pernah menutup wajah anak
pertama saya dengan bantal dan kesadaran saya baru kembali saat suaranya hilang
di balik bantal. Seketika saya menangis dan putus asa. Cinta macam apa yang
saya hadiahkan untuknya. Peristiwa itu terjadi, tepat dua pekan setelah saya
melahirkan adiknya. Sakit tak tertahankan dari operasi sesar kedua telah
membutakan mata hati dan menggelapkan pikiran saya. Kurangnya istirahat telah
mengacaukan sistem imun saya. Bengkaknya payudara turut meruntuhkan kewarasan
saya. Di mana suami saya? Dia di Tangerang Selatan, saya di Jawa Timur.
Keluarga saya? Saat itu ada musibah, salah satu keluarga saya meninggal. Saya
benar-benar merasa sendirian saat itu.
Sebenarnya ada dua peristiwa
traumatik lainnya, saya merasa tidak perlu mengutarakannya di sini. Namun
seiring berjalannya waktu, tiga peristiwa traumatik itu memunculkan rasa
bersalah yang berlebihan pada diri saya dan sekaligus rasa putus asa yang luar
biasa. Emosi saya mudah tersulut. Saya sering menganggap diri tidak pantas
menjadi ibu. Dan saya kerap tantrum terlebih dulu, ketika anak menunjukkan
gejala tantrum. Keadaan itu benar-benar membuat saya tidak nyaman. Baby blues itu bukan penyakit buatan.
Dia nyata senyata matahari yang terbit dari timur dan terbenam di barat.
Waktu berjalan lambat, tanggung
jawab pengasuhan menggegas cepat, sementara kepandaian saya lambat. Saya merasa
tiba-tiba banjir bandang datang, tanpa saya tahu kapan turun hujan. Harta benda
saya terkuras. Saya menjadi bangkrut, tak tahu apa yang harus saya lakukan di
tengah krisis kepercayaan diri itu. Perasaan seperti itu sungguh tidak enak. Satu-satunya harta yang tersisa adalah harapan. saya enggan mati putus asa. Pada
Maret 2018, saya memutuskan ikut workshop Habit
of Obedience di Pasar Minggu. Pematerinya Mbak Ellen Kristi. Saya terkesima
menyimak penjelasan Mbak Ellen. Setelah itu saya gabung dengan komunitas
homeschooling Charlotte Mason di Tangsel dan Jakarta. Dari dua komunitas itu
saya merasakan pertumbuhan mental yang setiap harinya bisa saya amati dan
rasakan. Saya mensyukuri betul berada di
tengah-tengah mereka. Mereka adalah orangtua pembelajar tinggi dan suka
berbagi.
Saya mengira, dalam mengawal
tumbuh kembang anak PR utama dan pertama adalah menguasai teknik pengasuhan
anak. Sungguh di luar dugaan, ketika saya mempelajari filosofi pendidikan CM,
saya secara langsung sama dengan membenahi cara pikir saya sebagai warga
negara, hamba Allah SWT, istri, ibu dan anak sekaligus. Bagaimana tidak, ketika
menekuni butir-butir filosofi pendidikan CM, akal budi saya seperti bertumbuh. Sebagai
seorang perempuan yang memiliki cadangan emosional yang melimpah, maka butir
filosofi ke satu CM, “Anak-anak terlahir
sebagai pribadi utuh,” misalnya, menjadi
semacam jawaban atas konflik yang terjadi pada saya dan anak saya yang tak
kunjung menemukan solusi. Mengapa saya jatuh pada lubang yang sama, yaitu tega
menyakiti fisik dan emosi anak saya? Sebab saya tidak memandang anak sebagai
pribadi yang utuh. Saya tidak menaruh hormat pada keinginan dan hasrat
pribadinya. Cara saya adalah sabda. Saya
ingat kembali, ketika anak saya menolak makan, saya mengharuskannya makan.
Alih-alih menyelidiki mengapa dia enggan makan, saya justru memaksanya. Ketika
anak bersikukuh memilih pakaian A misalnya, saya tergoda mencela pilihannya.
Tanpa mau tahu terlebih dulu, mengapa dia memilih baju itu dan bukan pilihan
saya. Apakah masalah pakaian bisa menjadi sebab cidera mental? Harusnya saya
mencari sebuah jawaban.
Saya mengurai dan meriset terus
menerus konflik yang terjadi antara anak dan saya. Jika sudah menganggap
pribadi utuhnya lalu apa? Oh rupanya anak-anak itu terkendala oleh kemampuan
untuk mengkomunikasi keinginannya. Komunikasi utamanya hanya menangis dan
tertawa. Anak-anak juga belum mampu mengubah keinginannya menjadi kehendak, sehingga
ia sangat impulsif. Apapun keinginannya, ia minta diwujudkan. Ketika saya
memikirkan semua itu, saya jadi lebih bijaksana dalam memberikan respon atas
tindakan mereka. Bukankah kelemahan kehendak dan komunikasi itu harusnya
mengundang kasih sayang untuk membimbing mereka? Terus terang tidak mudah
mengendalikan diri di hadapan anak. Lantaran saya sama impulsifnya dengan
mereka. Namun belajar memikirkan hakikat anak, membantu saya untuk mengontrol
respon saya kepada mereka.
Dalam riset pengasuhan saya
terhadap anak sendiri, saya seringkali menjumpai mereka melakukan hal-hal manipulatif,
seperti berbohong, semua hal harus berpusat pada dirinya, manja, suka
memerintah, malas-malasan, dlsb. Tadinya saya pikir anak-anak itu penurut,
sikapnya selalu manis, mudah diarahkan. Rupanya hakikat fitrah mereka tidak
melulu pada hal-hal baik saja. Fitrah
juga bermakna memiliki potensi melakukan hal baik dan buruk. Hal ini senada
dengan pendapat Sayyid Qutub, seorang ulama Mesir yang melahirkan kitab tafsir Fii Dhilaal Alquran. Saya juga mendapat
penguatan riset pengasuhan ini ketika mendapati butir filosofi kedua CM, “Anak-anak tidak terlahir sepenuhnya baik
atau buruk, melainkan menyimpan potensi menjadi baik atau buruk. Filosofi
ini menggiring saya ke pemikiran, apa yang harus saya pelajari selanjutnya, supaya
jalan saya menjadi terang?
Saya membaca butir ketiga
filosofi CM yang terkait dengan prinsip otoritas dan ketaatan. Nyala cahaya
yang saya lihat semakin menguat. Kata CM, “Prinsip
otoritas dan ketaatan berlaku bagi semua orang entah mereka menerimanya atau
tidak. Keduanya bersifat alamiah, niscaya dan mendasar agar satu kelompok atau
keluarga hidup teratur dan harmonis.” Dalam menjalankan prinsip ketiga,
orangtualah yang memegang otoritas dan tugas anak adalah patuh. Kembali saya
diseret untuk merenung, mengapa saya harus menegakkan otoritas?
Saya ingat pertanyaan Mbak Ellen
di workshop Habit of Obedience dulu.
“Kalau diberi pilihan untuk memutuskan dua pilihan ekstrim, antara anak yang
dibesarkan dengan didikan otoriter dan anak yang dibebaskan mengikuti semua
keinginannya, mana yang lebih merugikan dan membahayakan si anak dan orang
lain?” Saat itu saya tidak bisa menjawab. Tetapi saat ini setelah saya mengenal
butir filosofi pertama dan kedua CM, saya ikut tegas menjawab, “Anak yang
dibiarkan bebas menurutkan semua keinginan dan hasratnya jauh lebih berbahaya
baik bagi dirinya maupun orang lain.” Karena anak semacam jtu tidak dibiasakan
taat pada aturan, tidak pernah mendapat penolakan, maka ia akan mudah
melanggar. Alih-alih hidup teratur dan mencapai keharmonisan, ia justru menjadi
sumber keresahan orang lain. Saya merenung kembali, otoritas macam apa yang
melahirkan keharmonisan dan keteraturan hidup? Apakah saya berhak semena-mena
dalam menjalankan otoritas?
Untuk membantu memahami prinsip
otoritas dan ketaatan ini saya merujuk Alquran surah an-Nisa (4): 59. “Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri di antara kamu.” Dalam ayat
di atas, perintah taat diulang 2 kali. Rasul memiliki wewenang serta hak untuk
ditaati walaupun tidak ada dasarnya dari Alquran. Sedangkan untuk ulil amri,
tidak disebutkan kata taat. Kepatuhan terhadap ulil amri tidak berdiri mutlak.
Kita wajib tunduk pada ulil amri, namun
bersyarat, yaitu selama ulil amri menaati perintah dan menjauhi larangan
Allah SWT dan Nabi Muhamad SAW. Siapa sih ulil amri ini? kalau merujuk pada
arti secara bahasa, orangtua juga kategori ulil amri. Uli berarti pemilik atau
yang mengurus dan menguasai. Uli bentuk jamak dari waliy. Dalam pendidikan
Indonesia, ada istilah wali murid sebagai orangtua peserta didik.
Alquran memberitahu orangtua
bahwa otoritas yang mereka miliki terhadap anaknya adalah semu. Supaya nyata,
otoritas itu harus disandarkan pada ketaatan Allah SWT dan ketaatan Nabi
Muhammad SAW. Mampukah kita? Saya sedih sekaligus memupuk sebuah harapan, lantaran
akhir ayat 59 di atas menyebutkan keimanan kepada Allah STW dan hari akhir
(kiamat) sebagai syarat untuk ulil amri yang berhak mendapatkan ketundukan dari
orang-orang yang berada dalam urusannya. Apa kabar iman saya pada Allah SWT dan
hari akhir? Semoga iman saya dan kita bertambah baik setiap detiknya. Syarat
ulil amri itu semakin diperjelas oleh CM melalui butir filosofi ke empatnya, “Prinsip otoritas dan ketaatan harus
dibatasi respek pada keutuhan kepribadian anak. Otoritas bukanlah lisensi untuk
menyakiti anak. Orangtua dilarang mempermainkan rasa cinta, rasa takut, sugesti
atau karisma, atau hasrat-hasrat alamiah anak lainnya.”
Saya mengangguk sepakat ketika membaca
butir filosofi Ibu CM selanjutnya. Menurutnya, “Hanya ada tiga instrument pendidikan yang boleh digunakan untuk
mendidik anak – atmosfir alamiah, disiplin kebiasaan baik, dan penyajian
ide-ide hidup.” Motto pendidikan CM ini menjadi butir ke lima filosofi
pendidikannya.
Cara kerja atmosfir adalah sebagaimana
udara. Tidak bisa dilihat wujudnya, namun kehadirannya nyata terasa. Cara
bicara orangtua, cara memilih pakaian, bagaimana mereka memperlakukan tetangga
dlsb akan mempengaruhi anak. Dalam menyediakan atmosfir, orangtua tidak perlu
secara khusus memanipulasi keadaan menjadi serba baik. Apalagi, mana ada
orangtua yang mampu memakai topeng di hadapan anak-anaknya di setiap saat, di
setiap waktu? (kayak tagline pewangi ketek, he he). Orangtua di depan anaknya
adalah versi teraslinya dan terbaiknya. Bukankah orangtua juga menyimpan jiwa
monster dan malaikat dalam dirinya, sebagaimana anak-anak? Justru kekurangan
dan kelebihan menjadi kesempatan baik untuk orangtua dan anak untuk sama-sama
berjuang menyediakan atmosfir baik. Kata CM, “Pendidikan adalah atmosfir bukan berarti mengurung anak-anak dalam
suatu lingkungan buatan yang khusus dirancang bagi anak-anak, namun
memanfaatkan kesempatan-kesempatan dalam lingkungan alamiah anak sehari-hari
dan membiarkannya belajar dari orang-orang dan benda-benda di sekitarnya secara
bebas. Belajar hal-hal nyata di dunia nyata. lingkungan buatan justru
menghambat perkembangan kepribadian anak.” Demikianlah butir filosofi ke
enam CM.
Menelusuri pemikiran demi
pemikiran CM, saya teringat kembali kalimat Mbak Ellen di feed IG saya, “Dan barang siapa pernah turun ke tempat
gelap, tapi bisa naik kembali menuju terang, dia punya terang yang tak dimiliki
oleh yang belum pernah merasakan kegelapan.” Saya merasa gede rasa dengan doa
Mbak Ellen itu. Semoga Allah SWT selalu menjadi penolong saya dalam menggauli
pemikiran-pemikiran CM dan pemikiran-pemikiran kawan-kawan seperjalanan saya di
CM Tangsel dan Jakarta, sehingga saya bisa mengawal pendidikan anak saya dengan
baik. Amin ya Rabb.
Komentar
Posting Komentar