Mereformasi Pendidikan dengan Pemikiran Charlotte Mason

“Alah, ora perlu sekolah duwur-duwur nek mung golek kepinteran. Aku iki blas ora kalah karo wong sing mangan bangku sekolah nek soal pola pikir,”.

(“Halah, nggak perlu sekolah tinggi kalau hanya kepandaian yang dicari. Kalau hanya soal pola pikir aku tidak kalah sama orang yang makan bangku sekolah.”)

Terus terang saya tersinggung ketika pertama kali mendengar kalimat Mbak kandung saya di atas. Selain saya tidak makan bangku selama bersekolah [makan dalam pengertian harfiah), perjuangan saya menempuh ilmu tidak bisa dibilang mudah, terutama saat di perguruan tinggi. Saya harus menaklukkan badai dan hujan demi bertahan di tanah rantauan (lebai banyak).

Saya membantah argumen tersebut, bahkan mengajak Mbak untuk berdebat. Tetapi alih-alih menjumpai titik temu, kami malah semakin mempertahankan pendapat masing-masing. Menurutnya, orang yang pernah bersekolah seharusnya memiliki pola pikir yang luas, tata krama yang bagus, memiliki komunikasi yang handal, dan mudah meraih kesuksesan materi. Lebih jauh dia mengemukakan bahwa pendapatan bulanannya sebagai pedagang melebihi gaji pegawai.

Belakangan ini saya menyadari bahwa pemikiran Mbak saya tidak sepenuhnya salah tetapi juga tidak benar seluruhnya. Di kampung kami, ada orangtua yang perjuangannya (terkesan) heroik, karena beliau rela menjual rumah satu-satunya demi memperjuangkan pendidikan anak-anaknya ke perguruan tinggi. Beliau rela mengontrak, dan baru bisa memiliki rumah kembali saat berusia senja. Itupun tak lama dinikmati, karena beberapa saat kemudian ia dipanggil kembali ke pangkuan Tuhan. Pengalaman orang itu memberi kesan kepada tetangga lain, betapa pendidikan itu mahal. Maka tak mengherankan jika ada banyak orang menuntut bahwa bila ada yang berani menghabiskan banyak uang untuk pendidikan, harus ada yang didapatkan, misalnya menjadi Aparat Sipil Negara (ASN) atau memiliki jabatan di sebuah perusahaan idaman. Tapi kemudian muncul pertanyaan, apakah tujuan pendidikan hanya sebatas untuk mencari jabatan? Memenuhi permintaan hukum ekonomi?

Pendidikan kita ternyata tidak selamanya bisa memberi hasil sesuai harapan orangtua.  Pemerintah telah bersusah-payah merumuskan sistem pendidikan dan kurikulum yang didasarkan pada kebutuhan pasar. Link and Match istilah mereka. Pemerintah mengkritik banyaknya pendirian sekolah menengah umum di masa Orde Baru yang dianggap sebagai biang kerok melonjaknya pengangguran, karena para lulusan tidak memiliki ketrampilan. Maka, sebagai gantinya, didirikan banyak sekolah menengah kejuruan. Tapi apa daya, lulusan yang dihasilkan sekolah kejuruan inipun tak bisa langsung diterima di perusahaan dan industri. Ilmu teknik yang diajarkan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Bahkan kini muncul anggapan menjamurnya sekolah kejuruan pasca reformasi telah memberi kontribusi pada tidak terserapnya generasi muda pada dunia kerja.

Sebagai institusi yang telah berani mengambil alih tugas utama orangtua dalam mendidik anak, semestinya sekolah meninggalkan zona nyaman yang telah tersistematisasikan. Sebagai misal, sistem kompetisi yang didasarkan pada pola penilaian yang seragam seharusnya tidak lagi menjadi andalan untuk menentukan keberhasilan pendidikan anak, meskipun harus diakui jika pola seperti itu memberi kemudahan. Sekolah diadakan bukan demi mengejar kelulusan. Dalam menyelami samudera ilmu pengetahuan, anak didik tidak boleh dirampas kemerdekaan belajarnya dan guru seharusnya tidak lagi dipandang sebagai pusat dan sumber ilmu, tapi mitra bersama. Teks-teks fakta harus segera disingkirkan untuk diganti dengan buku-buku sastra. Tapi mungkinkah sistem pendidikan formal kita berani mengambil langkah semacam itu?

Perlunya perubahan sistem pendidikan tersebut semakin dirasakan akhir-akhir ini ketika kita dihadapkan pada pandemi Covid-19 yang mengharuskan semua siswa berada di rumah dan pelajaran dilakukan secara daring. Saat anak didik dituntut bersekolah di rumah tersebut, tiba-tiba orangtua harus memerankan diri sebagai guru. Repot, tentu saja. Stres, pasti. Apalagi kebiasaan taat (terpaksa taat?) anak-anak di sekolah tidak terjadi di rumah. Ini tentu fakta menyedihkan. Bagaimana dengan keadaan psikologis anak? Ini tidak pernah dielaborasi lebih jauh. Karena anak yang berada di rumah “tidak sedang” dalam sistem pendidikan formal, mereka tidak pernah ditanya kondisi psikologisnya. Mereka hanya ditugaskan ini dan itu. Yang lebih menyedihkan lagi, kita sedemikian mementingkan formalitas, misalnya anak disuruh memakai seragam sesuai jadual pelajaran sekolah. Sementara hal esensi pendidikan tidak tersentuh. Mengapa kejadian luar biasa ini tidak menjadi pemikiran mendalam, baik dari pihak sekolah maupun orangtua, untuk meramu metode manusiawi bagi anak didik?

Nilai-nilai Keutamaan Manusia

Untuk mereformasi pendidikan di Indonesia yang sangat mengutamakan penilaian formal dan keahlian mekanistik, kita bisa merujuk pada pemikiran Charlotte Mason, seorang ahli pendidikan dari Inggris. Charlotte memandang setiap anak sebagai pribadi yang utuh, lengkap dengan kodrat kemanusiaannya. Anak memiliki banyak hasrat dan keinginan tanpa batas dan tidak seragam. Dia memiliki  keinginan alami untuk menjalin hubungan dengan peristiwa di luar dirinya. Dia akan senang hati mengetahui asal usul leluhurnya dan kisah di balik terbentuknya kampung kelahiran orangtuanya dan dirinya, misalnya. Dia akan sangat menikmati karya seni dari seniman-seniman terbaik dunia. Jalan pengetahuan anak akan semakin terang ketika ia menapaki dan mengakrabi ide-ide hidup yang ditulis orang-orang yang berjiwa besar. Dia tidak akan lelah mengejar pengetahuan. Puncaknya, hasrat tertingginya adalah mengenal Tuhan. Kata Kang Jalal, psikolog dari Universitas Padjajaran, manusia memiliki ruang kosong di sudut hatinya. Selama ruang kosong itu tidak terisi dengan pengetahuan akan Tuhan, dia akan terus mencari dan terus gelisah dalam menapak kehidupannya.

Secara pribadi, karena anak memiliki banyak bagian dan hasrat dalam dirinya, maka dia harus tahu cara menggunakan dan merawat perangkat lunak dan perangkat keras yang dibawanya sejak lahir. Seperti pengetahuan tentang karakter hati yang tidak stabil, karakter akal budi yang selalu ingin bertumbuh, dan jiwa yang bermacam-macam rupa. Tak kalah penting, anak harus mengetahui kebiasaan tubuh. Semua jenis perangkat lunak dan perangkat keras yang dimiliki anak ini sebagai modal dalam menjalin relasi dengan banyak subjek. Seperti relasi dengan keluarga, tetangga, negara, dan dunia.

Untuk mewujudkan sistem pendidikan yang memperlakukan anak sebagai pribadi yang utuh, seperti disampaikan oleh Charlotte Mason di atas, sekolah perlu mereformasi diri. Sekolah hendaklah bertindak sebagai pemberi atmosfir yang mampu mendorong anak untuk mencintai banyak pengetahuan dengan menyediakan buku-buku sastrawi yang mengandung nilai-nilai dan pemikiran besar, yang tidak hanya berorientasi pada vokasi. Tujuan utama pendidikan adalah menjaga keutuhan pribadi anak didik, memiliki relasi dengan banyak pengetahuan dan alam, karena realitas dunia memang terdiri dari keragaman. Murid tidak boleh hanya sekedar menjadi pribadi yang mengejar kesuksesan materi, tetapi orang yang peduli pada sesama, lingkungan, dan akhirnya mengabdi pada Tuhan.  Peran guru adalah sebagai fasilitas pendidikan, ia harus sesedikit mungkin berintervensi dalam transfer pengetahuan, karena guru yang menjadi pusat pengetahuan bukanlah sosok yang bisa mencerdaskan murid. Sekolah tidak boleh membedakan anak ke dalam yang pintar dan tidak pintar, karena semua anak memiliki potensi untuk menyerap pengetahuan, mengagumi keindahan seni dan sastra, serta berelasi dengan alam. Mereka yang pintar didorong untuk semakin ahli dalam pengetahuan, dan mereka yang biasa-biasa saja berkesempatan untuk mengejar ketertinggalan, sehingga akhirnya juga tercerahkan oleh pengetahuan. Terakhir, dalam proses belajar seorang anak, menerapkan prinsip sekali baca buku pelajaran penting dilakukan. Agar anak mampu menjaga konsentrasinya dan pendidik tidak melakukan pengulangan materi yang sama. Dengan cara demikian target kurikulum yang kaya bisa tercapai. Untuk menjalin relasi dengan subjek pelajaran, maka dia diwajibkan menarasikannya. Tanpa narasi, seorang anak tidak akan dapat mereproduksi pengetahuan yang dia dapatkan dari buku bacaan.


Keterangan gambar: anak kami sedang membantu usaha baru (bumbu siap pakai) kami. Mereka tekun mengupas bawang merah dan putih. Meski matanya sesekali kepedasan. Kegiatan ini salah satu agenda pendidikan keluarga kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang yang Dirindukan Nabi Muhammad

Memakmurkan Masjid

Bermain di Kamar