Pendidikan Adalah Atmosfer


Dari dalam sebuah bahtera yang besar, seorang ayah yang diliputi kecemasan mendalam memanggil-manggil anaknya yang sedang berhadapan dengan banjir bandang untuk segera naik bersamanya.

“Hai anakku yang kusayang, naiklah ke kapal bersama kami agar engkau selamat dan janganlah berada dalam lingkaran orang kafir karena tak satupun dari mereka akan selamat dari air bah hari ini.” Kata Sang ayah dengan pilu,  dan hampir tak bernafas saat menyaksikan anaknya yang enggan menyambut panggilannya.

“Aku akan naik ke gunung untuk mencari perlindungan supaya selamat dari air bah.” Sang anak menolak ajakan ayahnya dengan tegas dan dia juga tidak memanggilnya ayah.

“Tidak ada pelindung yang mampu menjadi perisai dari air yang memancar deras dan ombak gelombang yang melangit hari ini kecuali orang-orang yang dirahmati Allah swt., anakku sayang.” Sang ayah masih berusaha menasehati dengan lemah lembut supaya anak terkasihnya terbujuk dan mau naik ke kapal menyatukan rasa antara anak dan ayah.

Si anak sedang berusaha keras mencapai gunung sesuai dengan apa yang diangankannya bahwa gunung mampu menyelamatkannya dari banjir bandang. Tapi tiba-tiba percakapan mereka terputus. Si anak tidak selamat dari air yang membahana dan bahkan sang ayah tidak bisa melihat belahan jiwanya lagi. Sungguh tidak mudah menyaksikan kematian dan kesakitan anak di depan mata sendiri. Dengan nafas yang berat dan sisa tenaga, sang ayah menyeru dengan perasaan pilu yang menderu-deru,

“Allahku, Engkau memerintahkanku mengajak keluargaku, sedangkan anakku adalah keluargaku.” Sang ayah mengiba dengan rendah diri. Bahkan dia tidak mempertegas permohonannya supaya anaknya diselamatkan. Rasa malu memenuhi rongga dadanya, seakan ia mengajukan permintaan yang berbeda dengan ketetapan Tuhannya. Namun ia menyebut ketaatannya kepada Tuhannya dan menampakkan kesedihan hatinya atas apa yang menimpa anaknya. 

Allah pun menjawab hibaaan hamba tersayangnya itu dengan menegaskan bahwa sang anak bukanlah bagian dari keluarganya yang diselamatkan. Kemudian sang ayah bertaubat atas permintaan yang tidak ia ketahui pengetahuan atasnya.

Kisah di atas terdapat dalam Quran surat Hud (11) ayat 41-46, yang menceritakan drama Nabi Nuh dan anaknya, Kan’an. Nabi Nuh merupakan nabi dan rasul yang memiliki gelar Ulul Azmi, sebuah pangkat terhormat yang hanya disandang lima utusan Tuhan di antara ribuan utusan di dunia ini. Sebuah gelar yang menunjukkan penyandangnya memiliki keteguhan dan kesabaran di atas rata-rata. Dengan karunia usia sang nabi mencapai 950 tahun, hanya segelintir orang yang mengimani ajarannya. Yang lebih menyayat hati adalah sang nabi tidak mampu mengajak anak dan istrinya ke jalan kebenaran yang dia perjuangkan secara konsisten dan penuh ketabahan selama hidupnya. Jika mengikuti kalkulasi orientasi bisnis multi level marketing (MLM), sang nabi bisa dikategorikan gagal merekrut pengikut.

Mengapa anak Nabi Nuh tidak mengikuti jejak ayahnya? Padahal sang nabi demikian lurus dan tegak meniti jalan Tuhan dan setia kepada-Nya. Apakah si anak lebih banyak menyerap nilai-nilai kedurhakaan dari ibunya, hingga di ujung kematiannya dia sangat meyakini ide yang menghunjam kuat di dadanya dan mengabaikan ajakan yang penuh kasih sayang dari ayahnya? 

Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi metode pendidikan anak yang diterapkan oleh Nabi Nuh. Pun dengan pandangan bahwa keyakinan agama adalah hidayah dari Tuhan. Penulis hanya mencoba untuk menjelaskan pentingnya atmofer pendidikan bagi tumbuhkembangnya kepribadian dan moralitas anak dengan merujuk pada pemikiran Charlotte Mason, seorang filosof pendidikan dari Inggris, yang hidup di abad ke-19.

Pendidikan adalah Atmosfer

Ada tiga piranti pendidikan yang diusung oleh Charlotte Mason dalam filosofi pendidikannya. Pendidikan adalah atmosfer, pendidikan adalah disiplin dan pendidikan adalah prasmanan ide. Atmosfer menempati 9/10 dari kesuksesan sebuah pendidikan. Apa itu atmosfer? Bagaimana cara kerjanya? Seperti angin, kita tidak bisa meraba dan melihatnya namun kita merasakannya. Sebagaimana tubuh yang memerlukan makanan, akal budi juga membutuhkan asupan supaya tidak mengalami stunting. Karena akal budi bersifat spiritual maka makanannya bersifat spiritual pula. Ide, nilai, dan gagasan yang menggugah benak untuk melakukan tindakan merupakan makanan akal budi, ide baik ataupun buruk.

Apapun atmosfer yang orangtua hidangkan, seperti itu jugalah yang anak akan rasakan dan terima seolah tanpa dijejalkan. Relasi dasar antara anak dan orangtua harus dikenalkan sejak dini di mana orangtua adalah pemegang otoritas, sedang anak taat padanya. Dalam menjalankan otoritas ini, orangtua dibatasi oleh respek pada anak, sehingga ia tidak akan berlaku otoriter. Relasi dasar ini tidak boleh tertukar sehingga anak adalah raja dan orangtua adalah pelayan. Bila orangtua tidak mampu menerapkan relasi dasar seperti ini, maka anak yang akan menciptakan atmosfer. Dia akan bertindak sesuai kemauannya dan sulit untuk diatur. 

Terhadap atmosfir di luar rumah, anak harus mampu mempertahankan nilai-nilai kebaikan yang telah ditanamkan orangtuanya, dan dalam hal ini, peran orangtua untuk mengontrol atmosfer lingkungan sangat diperlukan. Apalagi, atmosfer lingkungan  bisa meninggalkan kesan mendalam yang baik atau buruk di benak anak. 

Mengkondisikan Atmosfer yang Berinspirasi Baik 

Atmosfer yang diberikan orangtua akan mempengaruhi pikiran bawah sadar anak. Atmosfer itu bisa baik atau buruk. Orangtua atau pendidik tidak boleh menyediakan sebuah kondisi lingkungan palsu yang penuh rekayasa. Misalnya, agar anak lebih giat, orangtua atau pendidik memainkan karismanya. Atau demi hasrat kompetitif anak, orangtua atau guru repot-repot membimbing secara tidak proporsional, memamahkan pemahaman bahan ajar, atau mendikte apa yang harus dipelajari siswa. Kondisi ini akan melemahkan motivasi alamiah anak yang memang cinta terhadap ilmu pengetahuan, dan bila berlansung terus-menerus, anak akan sulit untuk memulihkan diri dari lemah intelektual dan tak berdaya secara moral.

Menurut Charlotte, rumah menawarkan lebih banyak atmosfer alamiah dibandingkan yang bisa diusahakan oleh sekolah. Seorang istri bisa berpura-pura memegang buku saat suaminya akan pergi kerja atau ketika menyambutnya pulang dari kerja. Namun saat suaminya tidak di rumah, sepanjang hari dia bisa saja tiduran bermalas-malasan sambil memegang gawai dan membaca info acak yang tidak membuat akal budinya kenyang. Siapa yang dirugikan di sini? Anaklah yang dirugikan, karena ia menyerap atmosfer kemalasan ibunya. Orangtua jelas tidak boleh berpura-pura baik atau buruk di depan anak-anaknya. Lingkungan rumah tidak mungkin dibangun di atas kepalsuan, karena akan menentukan karakter anak di kemudian hari. Maka menciptakan kondisi yang menebarkan atmosfer baik adalah sebuah pilihan bijak jika kita menginginkan panen raya kebaikan atas benih yang kita sebar.

Mewujudkan Atmosfir Pendidikan yang Baik

Naomi Aldort menulis buku berjudul, “Raising children, raising ourselves,” yang bisa diartikan bahwa mendidik anak pada saat yang bersamaan juga menuntut kita untuk melakukan pendidikan pada diri sendiri. Ungkapan tersebut mungkin bisa menjadi pedoman bagi kita untuk menciptakan atmosfir pendidikan yang baik untuk anak. Menjadikan anak dewasa secara mental menuntut juga kedewasaan para orangtua dalam mengatur hidupnya. Kedewasaan itu misalnya ditunjukkan dengan memahami diri kita, tujuan hidup kita, dan tujuan pendidikan anak kita. Apakah kita paham struktur diri, bahwa ada diri yang lain di balik diri? Apakah kita tahu bahwa diri ini tidak hanya yang dapat dilihat di cermin? Ada akal budi yang menuntut pertumbuhan (tidak hanya tubuh yang tumbuh), ada hati yang tidak selalu stabil, ada jiwa yang butuh dijaga kemurniannya dan ada ruh yang selalu cenderung pada nilai-nilai ketuhanan. Apakah kita memahami konsep-konsep itu? Apakah ketika kita ditanya seorang motivator, apa kelebihan dan kekurangan kita, kita bisa menjawabnya dengan mudah? Apakah kita paham detail kelemahan dan kekuatan kita? Apa kita sudah setia pada nilai-nilai hidup yang kita anut? Atau kita menjadi makhluk galau yang hari ini baik, besok buruk dan terus menerus seperti itu? Apakah kita memahami hakikat anak yang dititipkan pada kita? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting untuk kita renungkan demi menciptakan atmosfer pendidikan yang baik dan mampu menumbuhkembangkan potensi alamiah anak.  Kita tidak akan bisa mengharapkan anak menjadi baik, bila kita sendiri enggan berproses baik. Kehidupan keluarga yang baik dan romantis terjadi ketika seluruh anggota keluarga saling menyemangati untuk menjadi pribadi pembelajar seumur hidup.

Wallahu A’lam.



Keterangan foto: Salah satu cara menumbuhkan atmosfir baik dengan berkomunitas.

Referensi tulisan:
Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah, volume 5.
Charlotte Mason. Filosofi Pendidikan, volume 6.
Ellen Kristi. Cinta yang Berpikir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang yang Dirindukan Nabi Muhammad

Memakmurkan Masjid

Bermain di Kamar