Manusia dan Keunikannya (Terinspirasi dari Kajian Risalah Nur, al-Lama'at, Cahaya ke Tujuh Belas, Memoar ke Delapan)

Kisah pertama. Saya pernah disergap rasa haru yang luar biasa. Saat perjalanan ke Cipanas dengan sahabat saya, Lanny. Saya menyaksikan pohon tinggi menjulang. Rindang. Seolah dia mengajak saya bicara. Dia (si pohon) membisikkan mesra kalimat berikut,

"Hei, Titin. Aku mematuhi perintah Rabb kita. Aku cermin Keindahan Rabb kita."

Saya membenarkan perkataan si pohon. Sepanjang jalan menuju puncak ke Cipanas mata saya mengagumi pohon yg jumlahnya mungkin ratusan ribu. Mereka kepanasan dan kedinginan. Namun tidak tumbang. Iseng banget bila ada orang yang menyiram mereka. Nggak mungkin kan? Namun mereka memberi kebahagiaan bagi yang memandangnya. Seolah dengan bangga memperlihatkan ada Keindahan Allah pada mereka. Pasti Allah swt. Yang Mengurus mereka. Lalu saya merasa tertampar dengan sendirinya,

"Tin, keluhanmu banyak sekali. Yang jomblo lah (saat itu saya masih perawan tidak muda). Merasa berjuang sendirian (saat itu saya menanggung biaya perkuliahan s1 sendiri). Masa kalah sama pohon sih."

Kisah kedua. Saat mimbar (tempat biasa Rasulullah saw. Ceramah) selesai dipugar, ada suara tangisan yang sangat nyaring. Meraung-raung tidak karuan. Namun tidak ada sosok (nah loh). Riwayat hadis ini masyhur. Usut punya usut rupanya suara tangis berasal dari pohon kurma. Tadinya jarak si pohon dengan mimbar (sebelum dipugar) dekat sekali. Sehingga si pohon leluasa dan bahagia berdekatan serta menyaksikan Rasulullah saw. bicara. Lalu Rasulullah saw. mendekat pada si pohon,

Rasulullah saw. bertanya sambil menenangkan si pohon, "Gimana, pohon? Kamu milih mana? Aku kembalikan ke tempatmu semula hingga kamu bebas memandang wajahku ketika aku bicara atau kita jumpa di surga?"

Si pohon memilih yang kedua. Dia berpura-pura mampu menahan kerinduannya pada sosok mulia untuk kemudian ia buncahkan di surga kelak. Terus terang, saya malu pada sang pohon. Saya cemburu padanya. Demi Allah. Harusnya saya lebih berhak untuk rindu pada sang kekasih yang saya panggil-panggil saat shalat dan pembacaan Rawi. Namun kerinduan saya belumlah sempurna. Asal-asalan. Kalaulah saya benar-benar rindu, maka saya akan,

Rutin sedekah dan mengusap anak yatim.
Menghormati dan tidak menyakiti tetangga dekat dan tetangga jauh saya.
Saya akan mencari-cari dan menghibur kaum papa.
Saya akan memiliki sikap hidup yg sederhana dan hemat.
Shalat tahajut hingga bengkak kaki dan lutut saya.
Puasa Senin dan Kamis.
Shalat lima waktu tepat waktu.
Shalat dhuha secara istiqamah.
Membaca al-Quran, merenungi maknanya, paham tafsirnya, dan mewujudkan nilai-nilai al-Quran dalam kehidupan saya sehari-hari.

Nyatanya. Rindu saya pada Rasulullah saw. bukan seperti rindu yang digambarkan oleh sang Bimbo dalam lirik lagunya,

"Rindu kami padamu, ya Rasul. Rindu tiada terperi.  Berabad jarak darimu, ya Rasul. Serasa engkau di sini."

Bukan. Sekali lagi bukan. Rindu saya adalah rindu yg dusta. Kalaulah saya meniru sedikit saja sifat Rasulullah saw. pasti saya akan lebih lemah lembut ketika menghadapi kerewelan anak-anak saya. Astaghfirullahal Karim wa atubu ilaih.

Kisah ketiga. Seekor ular berbisa mendengar kabar bahwa di jam sekian, hari sekian, tahun sekian, di gua tsur (tempat si ular menunggu) akan singgah manusia yang paling suci di dunia ini. Siapa lagi kalau bukan Rasulullah saw. Kabar baik itu menjadi nyata. Sang nabi telah berada di gua tsur. Ular yang menunggu sekian ribu tahun itu bersuka cita. Namun Abu Bakar al-Shiddiq menghalangi pertemuan indahnya. Saat itu Rasulullah saw. tertidur kelelahan di pangkuan Abu Bakar (setelah mereka berdua dikejar oleh kaum kafir Qurays). Abu Bakar menutup lubang di mana si ular akan keluar. Karena khawatir desisan si ular akan membangunkan Rasulullah saw. Detik itu Abu Bakar dipatok si ular.

Secepat kilat bisa si ular menjalar ke sekujur tubuh melalui aliran darah Abu Bakar. Keringat Abu Bakar menetes di wajah Rasulullah saw. hingga membangunkan sang nabi. Nabi segera tahu hal ihwal si ular dan bicara padanya,

"Hei, ular. Jangankan daging Abu Bakar, rambutnya pun haram kau makan."

Si ular menjawab dengan rasa bersalah, namun tetap menceritakan tujuannya,

"Duhai, baginda Rasulullah saw. Ribuan tahun aku menunggumu di goa ini. Sebab aku mendengar Allah swt. berfirman bagi siapapun dan apapun yg memandang penuh cinta pada kekasih-Ku, Muhammad, maka baginya surga. Nah sahabat baginda menghalangi pandanganku. Mohon pahami kerinduanku, baginda."

Ya Rabb. Saya malu dan gengsi bila harus kalah pada siluman ular itu. Rindunya pada Rasulullah saw. begitu kuat dan hebatnya. Ketiga kisah yang pernah saya baca di atas menguatkan pemahaman saya perihal QS. Al-Shaffat (41): 11,

"Kemudian Dia menuju langit yg masih merupakan asap lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu keduanya (langit dan bumi) menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa." Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka hati."

Ayat di atas menegaskan bahwa langit, bumi dan seisi keduanya tunduk pada perintah Allah. Syaikh Said Nursi mengistilahkan ketundukan ini dengan awamir takwiniyah.

Namun beda dengan manusia. Manusia diberi pilihan untuk taat atau maksiat. Manusia dibekali oleh Allah swt dengan potensi yg luar biasa. Yaitu akal dan hati. Bilamana akal lebih mendominasi, maka banyak manusia yg akan menjadi tandingan Allah swt. Contohnya para peneliti ilmu-ilmu alam. Seperti Steven Hawking (almarhum). Dia seorang ateis yg saat ini belum ada seorang pun yg mampu menyamai ilmu saintisnya.

Bila hati lebih mendominasi seseorang, maka ia akan lebih mudah di'bodohi'. Seperti tokoh Yudistira dalam kisah Pandawa lima. Kemudian penggabungan hati dan akal akan menghantar manusia kepada kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Insya Allah. Info yang tak kalah pentingnya bagi manusia yg lalai berpikir, manusia yg enggan memanfaatkan potensi akal dan hati kondisinya adalah seperti kondisi hewan ternak. Bahkan kesesatan manusia lebih pekat.

Ketika manusia berhasil menunaikan misinya di dunia (sebagai khalifah sekaligus seorang hamba), maka ia akan lebih mulia kedudukannya di banding para malaikat al-Muqarrabin. Namun mengapa ketika manusia yg tidak berhasil menemukan dirinya, tugasnya, dan Tuhannya tidak disamakan dengan setan? Oh tentu tidak. Nanti di akhirat setan akan mengaku sebagai hamba yg sangat takut pada Allah dan setan akan berlepas diri dari perilaku buruk manusia.

Lalu mengapa manusia yang lalai itu justru disamakan atau bahkan kondisinya lebih menyedihkan daripada hewan ternak? Kira-kira begini penjelasannya. Hewan ternak telah kehilangan refleks untuk bertindak. Mereka terbiasa disediakan makanan oleh majikannya. Sifat liar mereka hilang. Daya serangan dan pertahanan mereka runtuh. Semenyedihkan itu kondisi manusia yg tidak menggunakan kekuatan akal dan hati mereka untuk mengenal Allah dan Rasulullah saw. dan memilih memperturutkan hawa nafsu sebagai tuannya. Balhum adhall (bahkan manusia jauh lebih menyedihkan dalam kesesatannya)

Terus terang, saya tahu maksud cahaya ke Tujuh Belas, memoar ke Delapan dari al-Lama'at yg Syaikh Said Nursi tulis. Namun saya belum berani menjelaskan contoh saintis yg beliau tulis di dalamnya. Perlu observasi langsung dengan memperhatikan alam dan isinya. Al-Quran mengistilahkan dengan ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda saintis), hal itu butuh perenungan manusia juga demi untuk mengenal keagungan Allah swt.

Wallahu a'lam. Mohon maaf bila saya menuliskan info yang kurang benar. Terima kasih bagi yg sempat membaca narasi kajian Risalah Nur Jumat kemarin di rumah saya. Sekali lagi matur nuwun.


Keterangan foto: Jamaah Tullabunnur Pinus sedang antusias menyimak kajian Risalah Nur yang sedang berlangsung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang yang Dirindukan Nabi Muhammad

Memakmurkan Masjid

Bermain di Kamar