Menjadi Orangtua

Narasi buku Cinta Yang Berpikir, Ellen Kristi, bagian Miliki Cinta Yang Berpikir, selesai.

Anggapan menjalankan peran sebagai orangtua itu mudah, tidaklah benar. Kasarnya, si istri 'cukup' hamil lalu melahirkan. Dan secara otomatis surga berada di bawah telapak kakinya. Selesai. Sementara si suami 'cukup' hanya mencari nafkah demi terpenuhinya materi kebutuhan rumah tangga. Apalagi ketika wafat dalam keadaan mencari nafkah. Syahidlah dia. Surga menunggu dihuni olehnya. Habis perkara. Meskipun, tantangan fisiologis pasutri tsb. tidak semua pasangan mampu melaluinya dengan baik. Lebih-lebih masalah seputar pengasuhan anak. Si ibu menghandle semua keperluan rumah, kebutuhan lahir batin suami dan si anak. Si ayah mati-matian (dan ada yg mati betulan) dalam memenuhi semua jenis kebutuhan dalam rumah tangga. What? Apa benar tugas orangtua sekedar 'itu'? Tidakkah orangtua butuh hal yg lebih patriotis?

Saya meyakini dengan sepenuh hati bahwa tiap orangtua sudah menjadi nalurinya untuk mencintai anak-anaknya. Tapi apakah modal cinta saja cukup? Saya setuju dengan pendapat Ellen Kristi yang mengatakan bahwa cinta harus dilengkapi pengetahuan. Bila tidak cinta itu akan buta dan menjadi petaka di kemudian hari. Menjadi kewajiban orangtua untuk selalu menjaga gairah menambahkan ilmu pengetahuan yg terkait dengan tugasnya.
"Untuk mendesain sepatu atau membangun rumah, untuk mengelola kapal atau mesin kereta api, dibutuhkan program magang yg panjang. Apakah menyingkap kemanusiaan seorang anak dalam tubuh dan pikirannya dianggap lebih sederhana dari itu sehingga siapapun boleh memegang kekuasaan dan mengelolanya tanpa persiapan apapun? Bukankah gila jika tidak ada syarat apapun untuk tugas sedemikian kompleks?" Charlotte Mason dalam buku Cinta yg Berpikir, hlm. 11.

Menurut Charlotte, orangtua teladan adalah mereka yg menguasai dasar-dasar pengetahuan fisiologis dan psikologis anak. Misalnya dalam pemberian ASI. Si ibu yg melakukan sentuhan, rabaan, percakapan saat si bayi nenen tentu jalinan bondingnya jauh lebih kuat daripada seorang ibu yg menyusui bayinya sambil main hp. Atau saat-saat pemberian MPASI. Saat si ibu menghadapi picky eater, ia tidak diharapkan abai terhadap emosi bosan dan marah anaknya. Pengelolaan emosi-emosi macam ini akan mengurangi tingkat depresi pada ibu muda dan anaknya juga bertumbuh dgn baik.

Sungguh sayang. Tidak ada jenjang pendidikan menjadi orangtua yg baik. Bagi orangtua yg lena kewajibannya, ia akan amat kerepotan melawan karakter anaknya yg terlanjur pincang. Geripis sana sini. Tahu-tahu orangtua sudah harus menghadapi banjir bandang dulu sebelum tahu kapan hujan datang. Menyesal dahulu baru kemudian menyadari apa yg harus ia lakukan. Namun yg laing sangat disayangkan bila kesadaran itu sengaja diperlambat kedatangannya. Misal saat si anak telah cacat mentalnya. Barulah orangtua menyadari kesalahan-kesalahan yg menggunung tinggi dan meluas menyamudera. Saya beruntung mengenal komunitas CM Indonesia yg disetir oleh orang-orang keren dan berdedikasi tinggi bagi manusia 'kecil'. Saya jadi tahu. Bahwa berpuas diri dengan bertanya seputar problem pengasuhan kepada orangtua, tetangga, teman dan berhenti pada solusi yg mereka kemukakan tidaklah  dapat dikatakan sikap yg tepat.

Saya mengalami sendiri saat tundem nursing. Seluruh keluarga besar nyinyir pd keputusan saya. Bahkan mereka menakuti saya dengan mitos yg melemahkan. Tundem nursing, bila dilakukan pada bayi yg berlainan jenis maka salah satu dari mereka akan terlebih kalah dan ada yg wafat duluan. Makdeg. Sempat ketakutan sambil menahan kesakitan pasca sesar. Lalu saya ditenangkan suami bahwa perkataan itu tidak masuk akal. Bagaimana penjelasannya? Kemudian saya tanya pd yg bersangkutan. Menuntut penjelasan. Rupanya kematian dari seorang bayi yg dimaksudkan sebab kecelakaan. Bukan keracunan ASI yg dibagi secara bersamaan. Atau perkataan keluarga sangat membekas di ingatan. Saat mereka memergoki saya menyusui dua bayi saya sekaligus. Katanya,

"Ya Allah. Seumur-umur aku kok baru tahu. Manusia menyusui seperti wedus (kambing)." Meski saat mengatakannya, beliau sambil tertawa lucu.

Saya banyak menjumpai anggapan masyarakat bahwa anak-anak itu polos. Mind set ini mengantarkan pd pembiaran saat perilaku buruk si anak timbul. "Ah masih kanak-kanak mana paham mereka. Saat besar nanti mereka akan baik dgn sendirinya. Yang penting orangtua tirakat. Banyakin ibadah. Shalat dan puasa. Sedekah jangan lupa. Masak iya orangtua baik anak kok tidak ikutan baik." Subhanallah. Mereka yg berpendapat seperti ini lupa. Bahwa putra kesayangan Nabi Nuh, Kan'an, abai terhadap tauladan mulia sang nabi. Maaf saya memakai contoh orang suci. Saya tidak menuduh Nabi Nuh lalai. Bisa jadi Kan'an menjadi martir. Tapi kita bukan nabi. Nabi selalu tunduk dan patuh pada perintah Allah. Andai Kan'an anak kita, mampukah kita tegar mendengar perintah Allah bahwa anak kita akan ditenggelamkan dan dibinasakan? Nabi Nuh mampu meski sebelumnya hatinya bagai tersayat sembilu.

Sebagaimana cinta butuh pengetahuan. Doa dan harapan butuh usaha konkret. "Orangtua tidak punya hak mendoakan anak-anak mereka agar tumbuh menjadi pribadi yg jujur, rajin dan berintegritas tapi pada saat yg sama lalai menerapkan model pendidikan yg akan membimbing anak ke dalam kejujuran, kerajina dan integritas." CM dalam buku Cinta yg Berpikir, hlm. 13.

Orangtua harus menyimpan rapih keegoisannya sebagai kepemilikan atas anaknya. Sebab prinsip pendidikan menurut CM adalah orangtua memiliki tanggung jawab di hadapan Allah dan masyarakat atas hasil didikannya. Apakah si anak menjadi berkat atau laknat? Semua berada di pundak orangtua. Saya berkali-kali sepakat dengan standar tinggi yg ditetapkan oleh Bu Ellen dalam halaman yg sedang saya narasikan ini. Bahwa standar baik saja tidak cukup. Orangtua harus membesarkan anaknya dengan sebaik-baiknya. Perlu upaya yg sungguh-sungguh orangtua untuk mengawal kebiasaan hidup yg baik bagi anak.

Saya lega membaca empat paragraf terakhir dari bab Miliki Cinta yg Berpikir ini. Bu Ellen menenangkan kesedihan dan kekhawatiran saya yg belum pernah merasakan apa itu kesempurnaan karakter. Sebab tiap menit saya merasakan gejolak dan perang mental dengan batin saya sendiri. Misalnya saya belum berhasil konsisten masak pukul 05.30 pagi. Sementara anak-anak saya belum berhasil bangun pukul 07.00 pagi. Kami sama-sama sedang mentraining bangun pagi. Dan (ambil nafas yg paling dalam) betapa banyak habit kami yg harus kami training. Oh my dearest God. Help please.

Menjadi orangtua sama dengan menekuni profesi lain. Seorang supir mustahil secara instan mahir menyetir. Awal belajar nyetir pasti seperti Mas Ali (suami saya) yg memakai otak kirinya. Mas Ali menghitung semua hal selama belajar menyetir. Pikirannya berisik. Mikir spion kanan kiri, spion belakang. Juga pikirannya dipenuhi titik-titik yg tak terlihat oleh spion. Apa Mas Ali sudah mahir menyetir? Belum. Sebab jam terbang nyetirnya sedikit. Dia menetapkan syarat harus punya mobil sendiri. Dan kami belum punya mobil. Doain ya. He he he. Begitu pula profesi orangtua. Butuh jam terbang tinggi untuk praktek mengasuh. Semakin sadar dan memiliki semangat tinggi untuk belajar pola asuh yg benar, semakin mahir menjadi orangtua yg ideal. Saya suka mantra Naomi Aldort, raising children raising ourselves. Pencapaian orangtua deal itu bukan barang jadi. Toko manapun tidak menjualnya. Tapi butuh banyak usaha menjemput bola. Memerlukan bara api yg selalu menyala. Menyediakan alarm yg terus mengeluarkan suara saat kita keluar dari pola asuh yg kita pilih.

"Wahai ayah dan ibu, inilah pekerjaanmu, dan hanya kalianlah yg dapat menunaikannya. Semuanya tergantung pada kalian, wahai orangtua dari kanak-kanak belia, untuk menjadi juruselamat-juruselamat masyarakat sampai seribu generasi ke depan. Tak ada hal lain yg lebih penting. Segala macam kesibukan yg untuknya orang-orang berjerih lelah ibarat permainan sepele dibandingkan urusan serous yg satu ini: membesarkan anak-anak kita agar menjadi lebih baik ketimbang kita sendiri." CM dalam buku Cinta yg Berpikir, hlm. 15.

Wallahu a'lam. KepadaNya kita semua meminta bantuan pertolongan seputar pengasuhan dan segala jenis urusan. Terima kasih saya sampaikan bagi yg sempat membaca narasi saya ini. Terima kasih untuk Bu Ellen Kristi yg menuliskan buku Cinta yg Berpikir. Yg mana pada tiap paragrafnya memuat kalimat-kalimat penting. Terima kasih pada CMer di seluruh Indonesia. Terima kasih pd CMer Tangerang Selatan. Terima kasih pd Nawa dan Mada. Terima kasih pd Mas Ali, my beloved one. Terima kasih pd diri saya sendiri. Saat ini saya sedang ingin berbisik mesra pada seperangkat mental saya, "O my self! You are rock, guys!"



Keterangan foto: Nawa dan Mada sedang mengumpulkan daun kering di RPTRA Pola Pinang. Yg mana taman ini bersebelahan dengan hutan kota. Keren.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang yang Dirindukan Nabi Muhammad

Memakmurkan Masjid

Bermain di Kamar