Mengapa Narasi?

Saya suka menulis. Dari dulu. Situs ini adalah blog kedua. Blog pertama raib. Saat sedang repot-repotnya mengasuh dua bayi, saya berhenti menulis. Saya sibuk dengan depresi saya sendiri. Sampai-sampai saya lupa password blog, password instagram, password twitter, password tumbler dlsb. Masing-masing social media itu udah banyak pengikutnya.

Di tengah-tengah kerapuhan mental, keinginan menulis bangkit kembali. Saya tahu persis bagaimana keadaan pikiran gelap. Inginnya mencari mangsa sasaran kemarahan. Bila marah pada anak-anak, saya menyakiti mental dan fisik mereka. Secara fisik, saya cubit dan tampar. Secara mental saya teriaki. Apakah saya malu menulis semua ini? Sangat malu.

Saya khatam membaca buku manajemen anger dan buku spiritualitas seorang ibu. Apa setelahnya cara melampiaskan marah saya menjadi baik? Tidak. Justru di situ saya semakin putus asa. Rumah mental saya ambruk. Sementara saya harus menghadapi banjir yg mana penyebab banjirnya saya sendiri yg bertahun-tahun abai terhadap sampah-sampah kepribadian. Dan jiwa ambruk itu dituntut menyelamatkan jiwa anak-anaknya. Tidak cukup sampai di situ. Kilatan petir nasehat parenting menyambar-nyambar dan ingin menelan saya. Untungnya, orang terdekat saya, Mas Ali, tidak pernah ikut bagian dalam menenggelamkan saya.

Malah, Mas Ali dengan segala kelebihannya membantu saya menangani banjir mental itu. Dia memohon agar saya menjaga diri baik-baik dan menitipkan jiwa-jiwa anak kami pada saya. Dia mendukung segala langkah keputusan saya. Mencari cara bagaimana hujan itu tidak menjadi banjir bandang lagi dan menenggelamkan barang-barang berharga kami. Melalui perantara dia, Allah Mendatangkan bantuanNya. Saya sangat bersyukur Allah Memilih Mas Ali untuk menjadi teman hidup saya.

Kilatan cahaya petunjuk datang. Saya menyambutnya dengan suka cita. Saya mengambil bagian, turut serta pada karavan perjalanan parenting dan spiritualitas yg bernama Charlotte Mason Indonesia Bernarasi. Tidak perlu saya yakinkan diri dan orang lain sepenting apa karavan ini bagi jiwa saya. Sangat amat penting. Kejahatan fisik terhadap anak-anak saya berkurang. Barangkali saya tidak mampu menjelaskan secara baik dan terinci, mengapa narasi begitu ampuh mengurangi sampah mental saya.

Saya tidak tahu prosesnya. Bagaimana bisa narasi mengambil bentuk dalam otak saya untuk menjadi alarm saat saya berlebihan memakai nada tinggi ketika bicara dengan anak-anak saya. Saya sama sekali tidak mengerti bagaimana bisa narasi membuat bicara saya lebih terstruktur. Saya tidak menyangka bahwa narasi membuat dua daun telinga berfungsi untuk lebih banyak mendengar. Saya terlalu angkuh untuk mengoreksi apakah isi pembicaraan saya bermutu atau tidak. Narasi melakukannya untuk saya. Sebab, semakin banyak saya membaca buku dan situasi di luar saya, semakin jelas terlihat kebodohan saya. Rupanya saya bicara tanpa ilmu. Semakin sedikit saya membaca buku atau situasi semakin susah saya membuat narasi. Semakin asal-asalan saya menarasikan sebuah ide gagasan.

Selain menulis saya juga suka bicara di depan umum. Tadinya saya menyangka bahwa isi pembicaraan saya bermutu dan sama sekali tidak butuh teguran dan kritikan siapapun. Namun narasi memberikan koreksian pada saya. Bahwa untuk berbicara dan menulis standar mutu yg baik butuh jam terbang yg tinggi untuk membaca. Dan semakin ke sini saya kaget. Bahwa narasi mengantarkan saya pada buku-buku bermutu. Buku yg mana penuturnya memilih kalimat-kalimat indah untuk mengantarkan gagasannya yg hidup. Sebuah gagasan yg membuat kepala saya geleng-geleng tak berkesudahan dan segera ingin mereformasi total mental sakit saya. Salah satu buku itu, buku Cinta Yang Berpikir; Sebuah manual pemikirian Filsafat pendidikan Charlotte Mason. Ellen Kristi menulis buku tsb. dengan serius dan penuh cinta. Hingga tiap kalimatnya membuat pembacanya tergugah. Sedih dan senang berebut tempat. Sedih ketika tertampar oleh kalimat-kalimat fakta yg menyudutkan. Senang ketika membaca kalimat-kalimat harapan di dalamnya.

Meskipun saya belum mengalami bagaimana terkenal karena sebuah tulisan. Namun saya telah mendapat pujian, dorongan, dan motifasi untuk menulis sebuah buku. Teman-teman dekat, friends social media menyampaikan motifasi baik itu pada saya. Saat saya menulis status di Facebook misalnya saya selalu mendapat like dan komen yg tidak bisa dibilang sedikit. Sebab like dan komen, terus terang membuat mental saya sedikit terganggu. Bagaimana tidak? Jumlah like dan komen akan membuat jantung saya berdetak kencang. Ketakutan di awal akankah ketika saya menulis narasi yg lain akan banyak yg ngelike dan komen? Hingga hal itu menghambat saya untuk menulis. Kesempurnaan telah saya pikirkan di awal sebelum menjadi tulisan. Mental seperti itu capek, kisanak. Paling payah adalah ketika memikirkan hal itu terus menerus dan tidak menjadi tulisan sekalimat pun. Oleh sebab itu akhir-akhir ini saya memilih blog untuk mendistribusikan narasi saya. Agar saya bebas nilai terhadap diri sendiri.

Narasi juga menjadi penjaga kewarasan pikir saya. Setelah menulis narasi seperti ini, biasanya perasaan berbunga-bunga itu muncul. Saya menyadari apa itu kehidupan ketika saya memiliki dua anak. Keburukan-keburukan kian nampak ketika jumlah usia saya yg tidak bisa dibilang muda. Saya adalah orang yg paling mudah tersinggung. Sebab harga diri saya, saya buat rendah. Bahkan saya bisa tersinggung bila orang yg saya ajak bicara tidak menatap dan menghargai saya. Saya marah-marah ketika tulisan terakhir narasi Cinta yg Berpikir saya dikoreksi Mas Ali dan paragraf awal dinilainya tidak nyambung. Sebab kemarahan lah saya tidak mengganti narasi terakhir saya berdasarkan koreksian Mas Ali. Malah saya menyalahkan diri. Tumben-tumbennya saya minta dikoreksi. Seburuk itu jiwa saya. Tapi saya bersyukur. Keburukan itu datang untuk dibenahi.

Saya senang. Semakin banyak kemarahan dan ketersinggungan yg  tertangkap oleh radar kesadaran insya Allah semakin banyak usaha untuk memperbaiki. Dan harapan hidup yg lebih baik semakin terbuka. Dan radar itu diberi kekuatan sinyal oleh narasi. Bagaimana bisa? Tadinya ketika tersinggung dan marah, saya melampiaskan pada perilaku-perilaku destruktif dan hal itu kian menggemukkan jiwa lawwamah (jiwa galau) saya. Namun berkat narasi, saya mampu memikirkan apa yg harus saya perbuat bila emosi negatif itu datang menyapa. Narasi meninggalkan bekas/jejak rekam kuat atas apa yg saya baca.

Rumusnya begini (seharusnya). Saat emosi negatif datang, alihkan. Jangan beri perhatian. Fokuskan untuk melakukan hal lain. Setelah dalam kondisi tenang, pikirkan ulang emosi negatif itu kemudian beri pengertian dia. Dengan cara apa? Membaca buku, berdiskusi kemudian narasikan menjadi sebuah tulisan. Malah lebih bagus lagi, bila bacaan sesuai dengan emosi negatif yg sedang dihadapi. Contoh, saya mengalami depresi saat mengasuh dua bayi saya. Saat itulah saya bahagia membaca buku Cinta yg Berpikir, karya Ellen Kristi. Kemudian saya masuk kelas narasi. Bonusnya malah jiwa saya ikut tumbuh bersama dengan proses ini.

Saya berterima kasih pada seluruh bagian dari diri saya yg mau melakukan jalan penyembuhan (narasi) ini secara bersama-sama, kompak, sabar, dan gigih untuk menjadi satu kesatuan Titin yg utuh dan tidak terpengaruh oleh peristiwa luar yg mencoba mengambil kendali dari kami. Saya sadar, perjalanan saya masih sangat jauh. Yg saya perlukan hanya fokus pada titik tujuan (stasiun-stasiun kemenangan) saja. Dan narasi merupakan rel yg saya bangun untuk memuluskan pada tujuan saya. Bisa dibilang narasi ini merupakan cara saya berkontemplasi. Melalui narasilah saya mudah menceramahi diri saya dengan perasaan gembira. Dan saya sangat berterima kasih bila ada seseorang di luar diri saya yg mengambil manfaat dari ikhtiar saya ini. Amin.

Kepada Bu Ellen Kristi, CMers Indonesia, Mbak Laila, teman-teman seperjalanan Charlotte Mason Indonesia bernarasi, CMer Tangerang Selatan saya ucapkan terima kasih yg sebanyak-banyaknya. Saya berdoa, semoga saya berjumpa dengan ikhlas dan selalu setia di jalan ini bersama orang-orang yg saya sebut tadi. Amin.


Keterangan foto: Saya menyanggupi untuk menjadi juru tulis di Majlis Taklim di masjid komplek saya. Demi apa? Demi ketenaran (astaghfirullah). Tidak, tidak. Semoga Lillah/karena Allah. Saya yakin, semakin banyak saya narasi semakin dekat saya dengan kebaikan yg Allah sebar di seluruh penjuru muka bumiNya ini. Insya Allah. Saya merindukan sosok Titin yg baik, yg stabil emosinya. Dan narasi saya pilih menjadi jalan penjemputan kewarasan itu. Amin.

Oh iya, terima kasih juga kepada pembaca blogku. Terima kasih yg khusus kubisikkan pada Lanny, seorang sahabat yg menjadi jalan dan mengenalkanku pada grup Kelompok Charlotte Mason Indonesia (KCMI).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang yang Dirindukan Nabi Muhammad

Memakmurkan Masjid

Bermain di Kamar