Prolog; Memperkenalkan Sang Guru
Jujur, saya sempat tertipu hasil
pemotretan foto bayi baru lahir. Si bayi terlihat sangat menggemaskan. Ia
menjadi sumber kebahagiaan. Lalu saya merapalkan mantra, diberi kesempatan
sama. Pada tiap kesempatan, saya menceritakan ingin punya anak kembar. Dua
bulan pernikahan tak kunjung hamil. Saya agak kesal pada suami. Mengapa ia
belum berhasil menghamili saya. Juga, saya bosan kerja. Pikir saya, begitu
hamil saya segera resign.
Giliran saya tiba. Test pack yang
ketiga menunjukkan dua garis. Aha, positif! Thanks, Dearest God. Matur nuwun,
Mas Ali. Kebahagiaan saya terjaga. Makanan sehat, renang, kajian dan
jalan-jalan adalah agenda rutin saya saat itu.
Nawa lahir. Saya berhasil melalui
hari-hari bersama Nawa dengan baik. Jelang usia Nawa tujuh bulan, saya
merasakan perubahan tubuh dan emosi saya. Rupanya saya hamil lagi. Untuk
pertama kalinya saya kecewa pada diri dan Mas Ali. Senafsu-nafsunya kami mengapa
sampai jadi calon bayi lagi.
Tak mudah menjalani kehamilan
sekaligus pengasuhan. Saat Nawa usia satu tahun, ia berubah menjadi picky
eater. Saya mulai kesulitan. Suatu hari. Dua pekan setelah adiknya lahir, Nawa
begitu rewel. Detik itu usia Nawa 18 bulan. Di sisi lain, kesakitan luka sesar
yang kedua menusuk. Jalan saya membungkuk hingga sebulan pertama. Kurang tidur,
lelah fisik dan penat mental campur aduk jadi satu. Bayi yang saya anggap
sebagai sumber kebahagiaan, rupanya juga serupa asal muasal petaka.
Saat itu saya tidak tahan lagi
mendengar tangis Nawa. Nafas saya tersengal. Detak jantung saya berdegup
lantang. Tangan gemetaran. Saya diliputi perasaan marah. Lalu... Saya menutupi
wajah Nawa dengan bantal. Supaya ia tidak berontak, kedua tangan saya menahan
bantal. Suara Nawa nyaris hilang. Sekonyong-konyong saya menyesal dan memeluk
Nawa. Tidak butuh waktu lama. Nawa terlelap dalam belaian saya. Rewel dia
adalah tanda dia capek dan butuh istirahat. Saya telat memahaminya.
Kekerasan fisik, nada tinggi,
muka monster kerap saya suguhkan pada Nawa dan Mada. Saya merasa jauh lebih
sundal daripada ibu tiri yang lacur. Saat saya berdiam sebentar, memikirkan apa
yang terjadi, malah timbul perasaan membunuh anak-anak saya. Mencari cara yang
tidak menyakitkan mereka. Pisau tajam yang terpikirkan. Ya Allah, Ya Rabb. Saya
benar-benar menganggap anak-anak sebagai harta pribadi. Merasa berjuang dan
menjadi sebab kelahiran mereka melalui pernikahan dengan suami. Saya
memperlakukan mereka sesuai mood. Bila saya senang, mereka akan saya hujani
dengan ciuman. Sedikit kecewa dan kesakitan, saya akan menjadikan mereka
sasaran kemarahan. Saya semakin sedih, ketika membaca buku Cinta yang Berpikir,
sebuah arahan filosofi pendidikan Charlotte Mason. Di buku petunjuk itu, Ellen
Kristi menulis bahwa anak adalah titipan Tuhan pada orangtua. Ibu dan ayah
bertanggung jawab lebih daripada guru dan sekolah untuk mengukuhkan anaknya
tumbuh menjadi pribadi yang manfaat untuk kehidupan umat.
Saya jadi bertanya-tanya.
Bagaimana sikap mental saya dalam memandang anak-anak? Apakah anak-anak itu
seperti play dough? Suka-suka akan saya bentuk menjadi apa saja? Atau saya
harus menganggap diri sebagai cikgu di hadapan mereka? Mendikte mereka,
bersikap keras pada mereka, memotifasi mereka untuk mengejar angka penilaian.
Atau saya harus berkiblat pada filosof yang (tidak) selalu bijak yang
menganggap manusia sebagai tabula rasa?
Kemudian, saat-saat genting
seperti ini, peran agama saya ke mana? Saya seperti tidak memiliki waktu lagi
untuk bermuhasabah diri. Shalat sekedar menggugurkan kewajiban. Saya lupa
thuma'ninah itu seperti apa. Sering saya membaca zikir yang wajib saja di
shalat saya. Ketika shalat, Nawa dan Mada tidak jarang naik ke punggung saya
atau rewel di hadapan saya. Ketika saya pipis, mereka menggedor pintu toilet.
Ketika mereka tidur lalu saya mandi dan menyalakan kran, saya selalu mendengar
tangisan. Kran saya matikan. Tidak ada tangisan. Kran menyala, kembali saya
mendengar tangisan. Saya seperti berlomba 24 jam tanpa istirahat dan tanpa tahu
kapan perlombaan mencapai garis finish.
Dari pengalaman saya yang belum
mampu memaknai shalat, saya terus bertanya.
Sepertinya saya membutuhkan disiplin ilmu lain dalam memahami asas agama
saya untuk mendidik diri saya dan anak-anak saya kelak. Dan bingo! Saya kembali
menyetujui pendapat Charlotte Mason yang secara blak-blakan mengatakan, dalam
mendidik anak, tidak cukup hanya bersandar pada hukum agama. Tapi juga harus
memperhatikan hukum alam dan hukum sosial. Seperti bagaimana otak bekerja atau
bagaimana proses kejiwaan anak berlangsung.
Mujurnya, saya memiliki suami
yang sabar. Memang suami saya tidak banyak bicara. Namun ia mendengarkan keluh
kesah dan cerita lintasan pikiran saya secara seksama. Ia seperti paham bahwa
yang kubutuhkan adalah mengambil alih beban pengasuhan. Membuat suasana rumah
nyaman dengan kebersihan. Tidak cuma itu. Sering ia memanjakan saya.
Mengeringkan badan saya dengan handuk. Sembari memberi tutorial cara memakai
handuk dengan benar.
Seiring berjalannya waktu, saya
mencari-cari manual menjadi orangtua yang baik. Beberapa situs yang saya
kunjungi menawarkan tips-tips sederhana menjadi orangtua baik. Terus terang
semakin saya membaca tips-tips itu kepala saya seperti akan meledak. Tips-tips
tersebut keren. Cocok dengan tipe orangtua ideal yang tidak memiliki beban
inner child. Sedang saya? Banyak hal yang harus saya urai. Saya harus selesai
dengan diri sendiri. Ndilalah, ketemu
dengan grup KCMI yang tiap hari selalu ada postingan filosofis. Dipandu oleh Bu
Ellen sendiri. Makin hari makin kepo. Stalking sana sini. Saya hafal banyak
nama praktisi CM. Langkah saya semakin jauh. Pernah ikut workshop Habit of Obedience dan Way of the Will. Sekarang terdampar di
grup narasi CM Indonesia. Saya merasa senang berada di tengah orangtua yang
semangat belajarnya tinggi menjulang. Senangnya seperti menerima gaji Mas Ali
di awal bulan. Setiap saya akan tidur, saya selalu berdoa semoga saya shalat
shubuh tepat pada waktunya. Sekarang doa harian saya bertambah. Saya akan
berdoa semoga saya istiqamah dan tekun di grup narasi CM Indonesia ini.
Keterangan gambar: tumpukan buku living book, sebuah istilah orisinil
dari Charlotte Mason untuk buku yang berisikan ide hidup.
Komentar
Posting Komentar