Berita Duka itu Datang

Kehilangan adalah suatu bagian dari kehidupan. Saya memaknainya sebagai latihan kecil-kecilan untuk menghadapi kematian. Tentu saja tidak usah ditanya, setiap jiwa akan mencintai apa yang seolah menjadi miliknya. Keluarga, tempat tinggal, usaha online maupun offline yang kita khawatirkan kerugiannya, harta kekayaan yang kita usahakan, semua itu merupakan titik fokus di mana manusia menaruh kekhawatiran dan kesedihan.

Kemarin siang saya mendapat kabar dari kawan. Tiga orang meninggal saat membersihkan sumur sedalam 15 M. Satu di antara ketiganya adalah ayah dari kawan SD saya. Said namanya. Saya dirundung duka. Sempat meneteskan air mata. Insya Allah ketiga almarhum husnul khatimah dan syahid sebab mereka menjumpai ajal saat bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Lebih-lebih ketiga almarhum wafat di hari Jumat, disebut juga sebagai sayyidul ayyam. Hari di mana terdapat waktu mustajab untuk berdoa. Kata Rasulullah siapa saja yang wafat pada hari Jumat akan terbebas dari azab kubur. Meski riwayat pada hadis tersebut diperdebatkan sanadnya.

Soal kematian ketiga almarhum di atas insya Allah telah ada ciri-ciri husnul khatimah. Ujung hidup yang baik. Namun kematian mereka meninggalkan tsunami jiwa bagi kita. Betapa tidak. Ketidaktahuan ketiga almarhum soal menipisnya oksigen di dalam sumur menjadi sebab meregangnya nyawa mereka. Dan tentu saja kebutuhan dan keterbatasan yang membuat mereka tidak mampu memilih pekerjaan. Memang mayoritas pekerjaan di desa kami sebagai buruh yang tidak ada jaminan sosial ketenagakerjaannya. Pekerjaan buruh memang rentan kehilangan nyawa. Buruh tambang, buruh galian tidak sedikit dari mereka tertimbun oleh tanah yang mereka keduk sendiri. Di titik ini kepekaan kita diundang. Mampukah kita memberikan pemahaman kepada mereka yang tidak tahu? Atau sudikah kita membagi sebagian kecil rizki kita kepada mereka?

Rasa shock dan haru yang belum hilang, pagi ini ditambah lagi dengan duka dua warga di mana saya tinggal. Selesai takziah, saya buka Facebook. Berita duka kembali menyentak kesadaran jiwa. Gempa yang diikuti oleh tsunami menimpa saudara-saudara kita di Palu. Lebih kaget lagi keluarga Nura abla tertimpa musibah tersebut. Dia sahabat saya dari 2010. Risalah Nur karya Syaikh Said Nursi yang mempertemukan kami. Sebulan 2x Nura abla dan suaminya memandu kajian Risalah Nur di rumah saya.

Berikut saya kutipkan statusnya di Facebook.

"Alhamdulillah orangtua dan keluarga terdekat selamat. Hanya saja semua terluka. Pondok tahfidz dekat rumah kami di Jalan Kartini, terdapat delapan anak terperangkap di dalam gedung yang tadinya tiga lantai dan sekarang telah rata dengan tanah. Om yang tinggal di depan rumah kakak  meninggal tertimpa pagar. Rumah kami hancur terbelah. Saat ini keadaan tenang meski sesekali ada goncangan. Makanan sulit. Mereka berbagi makanan dari apa yang tersisa. Semoga Allah selamatkan mereka."

Saya dikirimkan rekaman percakapan Nura abla dan ibunya. Percakapan itu penuh kepanikan dan tangisan. Ya Rabb. Sekali lagi, empati kita yang tidak merasakan gempa diuji cobakan. Uluran kasih sayang kita dibutuhkan.

Sungguh. Tragedi sumur yang menyebabkan kematian,  meninggalnya tetangga dekat kita dan gempa di Palu menjadi pengingat bagi kita. Bagi orang yang beriman, kematian merupakan fase pencapaian jalan yang mendekatkan pada Tuhan. Kematian adalah pembebasan dari penderitaan dan ujian di dunia. Orang-orang beriman paling tahu cara mengubah ketakutan menjadi optimisme dalam melalui fase kematian. Beruntunglah mereka dan kita yang menyaksikan kematian yang husnul khatimah. Saudara-saudara kita di Palu sedang sedekah besar-besaran pada Allah. Tidak 'cuma' sedekah sepuluh ribu hingga seratus ribu. Rumah, kekayaan dan jiwa mereka persembahkan kepada Allah. Semoga mereka rela terhadap ketentuan Allah dan Allah rela terhadap apa yang mereka persembahkan.

Selanjutnya mari bertanya pada jiwa terdalam kita. Mengapa kita sedih? Mengapa kita menangis? Mengapa? Semua emosi itu sesungguhnya sebagai alarm bahwa kita belum siap menyediakan bekal kehidupan yang jauh lebih panjang daripada kehidupan di dunia. Kita masih suka menunda kebaikan. Kita masih jatuh cinta dengan selain Allah dan Rasulullah. Hati kita masih berdegup kencang (emosi khawatir dan cinta berlebihan berpadu) melihat anak dan pasangan. Nafas kita masih terengah-engah oleh sumber kekayaan. Jiwa ammarah (jiwa yang selalu mengajak untuk melakukan keburukan) kita lebih mendominasi kelakuan keseharian.

Kemudian, bagaimana cara kita mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah dengan membiasakan perilaku baik, ucapan baik dan pikiran baik. Allah telah menyediakan panduan menuju hidup selamat melalui al-Quran. Rasulullah telah menauladankan al-Quran melalui perilaku keseharian beliau. Guru saya memberi kami mantra, "Allahumma paksakeun." Untuk mendidik jiwa malas. Memaksakan berbuat, berkata, dan berpikir baik.

Jadi? Latihan terus-menerus belajar dan mengajar. Mengajar belum tentu ahli ilmu. Adakalanya mengajar merupakan cara seseorang untuk menceritakan kembali apa yang dipelajarinya. Supaya otaknya, pikirannya, jiwanya mendengar apa yang dibacanya. Mengajari pikiran dan hati kita untuk merenungkan ayat-ayat Allah, sabda-sabda nabi. Memperbanyak jam terbang untuk membaca dan merenungkan ajaran-ajaran luhur. Apakah cara ini berhasil untuk meraih jiwa yang tenang? Belum tentu. Ada yang berhasil dan ada yang gagal. Gimana dong? Minimal kita telah berikhtiar menjadi baik. Biar Allah Yang Mengurus ikhtiar kita. Wallahu a'lam.

Pastinya, tulisan ini sebagai pengingat dan renungan atas kejadian luar biasa yang terjadi pada kemarin dan hari ini. Mohon maaf, mohon doa dan mohon teguran bagi Titin yang tak kunjung pandai ini. Bila saya marah dan berubah wajah saat ditegur, mohon jangan benci saya. Sesungguhnya ketika saya marah, itulah saat di mana saya sedang perlu dikasihani dan didoakan. Mohon kasihi dan doakan saya. Terima kasih sudah membaca tulisan saya. Semoga bermanfaat untuk jiwa kita semua. Amin.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang yang Dirindukan Nabi Muhammad

Memakmurkan Masjid

Bermain di Kamar