Masa Lalu


Alkisah. Siswi kelas 5 Sekolah Dasar melihat dari balik kaca, dengan ujung telapak kaki terangkat. Pandangannya tertuju pada ruang yang dipenuhi oleh guru pembimbing, teman-teman sekelas dan adik angkatan. Ia diliputi perasaan harap bercampur sedih. Harapan untuk ikut serta masuk dalam ruangan. Sedih, nyatanya ia bukan bagian dari mereka.

Ia tidak dihinggapi rasa putus asa. Meski ia tak terpilih sebagai peserta kemah, ia tetap mengunjungi area kemah. Ia tahu teman-temannya sedang belajar tali temali dan cabang-cabangnya dalam pramuka. Ia senang mengamati penjual jajanan yang ikut memeriahkan kemah. Lebih-lebih suasana malam. Ngipeng tidak lagi mati, tak dipenuhi Gerduwo dan Kuntilanak. Ngipeng mendadak ramai oleh tenda, lampu, dan manusia.

Saya adalah siswi kelas 5 MI/Madrasah Ibtidaiyah di atas. Saat ini saya bertanya-tanya pada diri sendiri. Mengapa saya tidak terpilih sebagai peserta kemah? Apa yang kurang dari saya? Apakah saya tukang ribut? Atau saya kurang keren? Tak dapat dikendalikan? Tak mampu mengikuti agenda kemah? Apa karena saya tidak berprestasi? Dulu saya tidak sempat berpikir rumit dan bertanya mengapa. Perasaan sedih lebih mendominasi, karena tidak terpilih.

Saya tahu teman-teman dan adik angkatan yang terpilih adalah mereka yang berprestasi secara akademisi. Rata-rata rangking tiga besar. Semakin di puncak atas rangkingnya semakin keren di mata semua orang. Dan mereka akan disanjung, dipuja terus menerus. Mereka akan terpilih dalam keseluruhan agenda sekolah. Menjadi pemimpin upacara, menjadi utusan cerdas cermat, dan agenda penting lainnya. Bagaimana nasib mereka yang tidak berprestasi akademik? Kehadiran mereka cuma pelengkap. Menjadi identifikasi kelas pintar dan bodoh. Tentu standar akademik.

Harusnya, pemilihan peserta kemah di sekolah saya tidak berdasarkan standar kepintaran akademik. Ada kriteria lain, misalnya siapa yang tertarik untuk menyatu dengan alam? Barangkali teman-teman saya yang berprestasi akademik hanya tertarik pada buku. Siapa tahu nature walk yang dibungkus dalam agenda kemah tak terlalu meminati hati mereka. Saat itu Titin kecil adalah anak yang suka berpetualang. Ia tidak betah mendekam di rumah dengan tumpukan bacaan dan PR sekolah. Saya yang pantas terpilih. Namun dewan guru tidak melihat kelebihan saya yang adventurernya kebangetan.

Pengalaman saya di atas merupakan salah satu contoh  penyakit mental. Penyakit mental inilah yang menjadi benalu dalam diri seseorang untuk mensyukuri karunia-karunia Allah. Bukankah puncak rasa syukur manusia itu terletak pada pemanfaatan pemberian itu sendiri? Sama-sama memiliki anggota badan yang lengkap, lalu mengapa beda kesibukan dan nasib? Rata-rata penyakit mental tidak mudah disembuhkan bila terjadi di masa kecil. Bisa disembuhkan dengan terapi yang intens dan disiplin tinggi.
                                              
Suatu saat. Usai kami mengaji, biasanya mengobrol santai sembari menikmati camilan ringan. Salah satu peserta pengajian, ia seorang guru di salah satu sekolah mahal di lingkungan kami menginfokan percakapan dia bersama siswinya. Salah satu dari kami adalah orangtua siswa berprestasi yang dimaksud dalam percakapannya.

“Eh kalau kamu naksir D (salah satu siswa berprestasi), kamu harus pintar seperti dia.” Mendengar kisah sang guru, saya sedih luar biasa. Bila saya tafsirkan obrolan sang guru akan membekas dalam jiwa si siswi. Berbekas negative (luka mental) bila ia terbiasa mendengar dan menyaksikan hal-hal negative dalam kesehariannya. Ia akan menganggap dirinya bodoh, tidak pantas mencintai orang pintar. Dan anggapan-anggapan yang ia bentuk akan menjadi ular berbisa yang mematikan potensi-potensi baik yang ada dalam dirinya. Siapa tahu ia menyimpan potensi supel? Bukankah supel modal penting untuk profesi marketing? Bukankah penulis buku-buku best seller bertema motifasi hidup adalah mereka yang berprofesi sebagai marketer!

Kemudian bagaimana menyembuhkan luka batin yang melekat pada diri kita?

  1. Validasi emosi. Tulisan saya ini dalam rangka memvalidasi emosi diri sendiri. Menerima emosi sedih, merasa kalah, merasa terhina dan perasaan-perasaan negative lainnya, merupakan langkah pertama. Lacak perasaan-perasaan masa lalu yang membuat kita berat melangkah.
  2. Memaafkan masa lalu yang membebani kita. Dengan cara apa? Memperbarui cara pandang kita terhadap diri sendiri. kita bukan diri kita yang dulu. Mencari hal positif dalam diri sangat diperlukan. Hal potensial untuk merubah nasib yang ada pada diri kita apa?
  3. Memilih hobi positif. Tirulah saya, hehehehe. Sebagai orang Tuban, kota yang dekat laut, akan sangat memalukan kalau tidak bisa berenang. Saya berlatih keras untuk renang. Alhamdulillah jadi hobi deh. Alhamdulillah lagi menambah kebahagiaan deh.
  4. Memilih makanan sehat dan bergizi tinggi. Ini penting untuk menjaga kewarasan pikiran. Menghindarkan diri dari makanan instan yang tidak sehat. Tidak sehat di kantong juga di tubuh.
  5. Semangat menjalankan nasehat Kanjeng Sunan Kalijaga. Tombo ati iku ono limang perkoro. Obat hati ada lima perkaranya. Silahkan menyanyi sendiri.

Kisah saya di atas menjadi pengingat bagi kita untuk berhati-hati dalam menghadapi kekuasaan. Orangtua berkuasa atas anaknya hingga si anak berusia dewasa. Dalam rentang usia kanak-kanak, orangtua wajib memperbarui ilmu bagaimana menjadi orangtua yang benar. Ilmu paling tua terkait pengasuhan anak adalah ‘Anak mencontoh dari apa yang ia lihat’. Anak-anak kita adalah hasil dari pikiran, ucapan dan perilaku kita. Meski mereka bukanlah kita. 

Seorang guru berkuasa atas murid-muridnya. Sang guru memiliki kewajiban untuk selalu menambah wawasan yang akan menjadikannya sebagai pendidik arif nan bijaksana. Wah saya senang bila seorang guru semangat berakrab ria dengan filsafat pendidikan dari Ki Hajar Dewantara, Charlotte Mason (pendidik berkebangsaan Inggris) dan pendidik lainnya demi si murid yang memiliki keunikan potensi masing-masing. Wallahu a’lam ya.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang yang Dirindukan Nabi Muhammad

Memakmurkan Masjid

Bermain di Kamar