Pentingnya Menjaga Ucapan
Pagi pukul 06.15 WIB aku dan mbak
Hani, kakak iparku, tiba di pasar Cimanggis-Ciputat. Bau pesing dan suasana kotor laiknya pasar tradisional segera
menyengat hidungku. Sayuran busuk tercecer di mana-mana. Ibu-ibu sosialita tak
mungkin berkunjung kemari. Kecuali bajet mereka pas-pasan.
Kedatangan kami di sini untuk membuat
santapan menyambut tahun baru Masehi 2018.
Kami mendatangi toko langganan mbak Hani untuk membeli daging namun
kehabisan. Lalu kami mencari penjual daging lain. Alhamdulillah ketemu. Mbak
Hani transaksi, aku mengamati. Tiba-tiba salah seorang mas berkaos hijau
menghampiriku.
“Masih sekolah ya, mbak?” Tanya
penjual daging.
“Udah punya anak lima.” Jawabku
biasa saja. Tidak ramah, tidak ketus.
“Udah punya cucu berarti ya?”
Kejarnya dan tidak kujawab. Ekspresiku biasa. Ia tidak pula tersinggung dengan
responku.
Mengapa sapaan si penjual daging
masih lekat di memoriku? Kemungkinan ada dua. Pertama. Aku sadar, usiaku yang
30-an bukan lagi usia remaja. Usia 30-an usia dewasa yang menuntut kemandirian
mengurus diri sendiri dan keluarga. Untuk perempuan seusiaku akan senang sekali
bila dituduh lebih muda dari usia sesungguhnya.
Kedua. Kalimat penjual bisa
kuanggap negatif. Apakah ia melecehkan atau sekedar untuk membuka percakapan
denganku. Sepanjang jalan pulang ke rumah aku melihat pakaianku. Apakah terlihat
buruk? Atau pakaian itu betul-betul membuatku terlihat muda. Itulah yang telah
kulakukan sejauh ini.
Setelah kurenungkan, ternyata perkataan
yang baik merupakan salah satu cabang iman. Iman yang lurus akan mengalirkan
kata-kata baik. Apabila tidak mampu berkata baik, diam dianjurkan. Demikian kata
rasulullah saw. Mengapa? Kata-kata mampu menciptakan suasana hati dan lebih
jauh lagi kata-kata adalah takdir itu sendiri.
Berhati-hatilah dalam berucap. Seringkali
kita mudah mengucapkan kata-kata kasar sekedar untuk melepaskan emosi kita
tanpa berfikir kata-kata kita itu akan menusuk dan berbekas lama di hati orang
yang kita tuju. Sebaliknya, mudahlah memberikan kata-kata baik karena siapa
tahu kata-kata baik itu akan mensugesti orang lain untuk melampaui citra diri
yang dibangunnya selama ini.
Kata-kata negatif dan kata-kata
positif sama-sama membentuk citra diri seseorang. Ketika aku menganggap diri
tidak mampu menjalani peran ibu, pasti aku tidak mampu. Mengatakan ketidakmampuan
itu dan mengulanginya terus menerus, maka alam akan menunjukkan dan mendekatkan
pada apa yang telah aku katakan. Apa bonus pikiran dan kata-kata negatif dari
ketidakmampuan memerankan ibu? Pekerjaan rumah terbengkalai, anak tidak terurus,
karir suami terhambat. Atau segala pekerjaan rumah tangga tadi bisa diselesaikan
namun membutuhkan energi lebih hingga lama-lama akan mewujud menjadi bom waktu
yang kapan saja bisa meledak.
Pertanyaannya, bagaimana bila
kata-kata negatif telah otomatis menjadi bagian dari diri kita? Menurutku, pertama,
kita terima keadaan itu dengan baik. Lalu memberi maaf pada orang yang kita
anggap bersalah. Lalu memperbanyak berzikir. Zikir yang biasa kubaca adalah doa
Nabi Ayyub (QS. 21: 83), doa Nabi Yunus (QS. 21: 87) dan doa dari Nabi Muhammad
(Yaa Hayyu Ya Qayyuum birahmatika
astaghiits wa laa takilnii ilaa nafsii tharfata ‘ainin; Duhai Yang Maha
hidup, duhai Yang Maha berdiri sendiri tidak membutuhkan yang lain. Dengan rahmatMu
aku memohon pertolongan. Jangan serahkan aku pada diriku sendiri meski sekejap
matapun).
Kedua. Membiasakan untuk berpikir
baik, berkata-kata baik, dan bertindak baik. Berpura-pura dulu baik lama-lama akan terbiasa berpikir,
berkata, dan berbuat baik. Zikir yang kuucapkan untuk membiasakan keadaan ini adalah istighfar, ta’awudz dan salawat.
Mudah-mudahan melalui sikap dan
zikir seperti yang diuraikan di atas, aku lebih mudah mengendalikan diri dalam
bersikap dan berbicara. Wallahu a’lam.
Betapa tidak mudah kita menjaga lisan maka berkali-kali aku pun bertekad menjaga perikata terhadap keluarga dan lingkungan dengan doa 'rabbishahlii sadrii wa yassirlii amrii'. Terima kasih mengingatkan, Ning. :)
BalasHapus