Bapak Mertuaku
Berita duka itu datang. Suamiku menangis mengabarkan kematian
mbah Mali karena kecelakaan. Kepergiannya tiba-tiba dan tidak ada tanda-tanda. Di usianya yang ke 75 tahun ia masih sehat dan
bugar. Rabu, 02 Agustus 2017
ia masih melakukan aktifitas seperti biasanya. Pergi ke sawah dan momong
cucunya (anak dari adik iparku). Namun, Kamis, 03 Agustus 2017, pukul 9.30
berita kematian mbah Mali kudengar. Aku kaget dan menyesal setengah mati tidak
berada di sisinya saat wafat. Aku di kampung Tuban. Sedangkan suami masih di
Jakarta. Kami memang berniat pulang menemui Mbah Mali di Klaten sebab Juni 2017
kami tidak pulang untuk merayakan lebaran idul fitri karena anak kedua kami
dirawat di RSUD selama seminggu.
Mbah Mali, nama lengkapnya adalah Sumali Noto Sudarmo. Ia adalah
mertukaku. Aku bersaksi mbah Mali adalah manusia baik yang sebagian besar
hidupnya ia persembahkan untuk kebaikan sesama.
Mbah
Mali juga orang yang ringan menolong. Bahkan karakter orang Anshar (kaum
Madinah) yang menolong Muhajirin (kaum Makkah yang hijrah ke Madinah) melekat
dalam akhlaknya. Suatu hari ia baru mendapat dana segar (dana hutang). Tib-tiba
datang orang yang ingin meminjam uang. Dana yang baru ia terima ia serahkan
tanpa pikir panjang pada orang yang membutuhkan tadi. Aku terharu dan mengingat
firman Tuhan.
"Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ´mencintai´ orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung." QS.
al-Hasyr: 9.
Karakter ringan tangannya juga ditunjukkan dengan kesetiaannya
dalam mengajar membaca al-Quran.
"Waduh, mbak, ibuku sampai gemetaran ketika mendengar kabar
meninggalnya mbah Sumali. Dia kehilangan banget. Mbah Sumali guru ngaji
al-Quran ibuku." Cerita Suryati, ibu muda yang berambut pendek.
"Maksudnya
mengaji berdua di masjid gitu?" Tanyaku dengan heran dan membuatnya kaget.
"Ya
enggak toh, bareng-bareng dengan ibu-ibu lainnya." Jawabnya mantap.
Mbah
Mali juga kukenal sebagai orang yang ahli ibadah. Salat lima waktu selalu ia
tegakkan di masjid. Ia sebagai imam. Saat ia berkunjung di rumah kami, pukul
03.00 WIB kulihat ia khusuk sesenggukan dengan tangan menengadah ke atas. Entah
apa yang ia minta di usia senjanya. Dugaanku bukan soal dunia. Kemungkinan
besar soal akhirat. Dhuha tak pernah ia tinggalkan.
Dalam soal pekerjaan, Mbah Mali orangnya konsisten. Ia tidak mau
dibayar jika tidak bekerja. Meski pekerjaan itu jauh dari rumah dan tidak seberapa
gajinya, ia akan senang menjalaninya.
"Bapak dulu ngajar sekolah di Gunung Kidul, 15 km dari
rumah, Tin. Berangkat pukul 03.00 dini hari. Naik sepeda ontel.” Cerita Mbak
Mali saat masih hidup. Kupikir ia akan meratapi nasib seperti yang biasa
kulakukan. "Tapi yang ini (ia menunjuk dada) seneng banget,."
Lanjutnya dengan matanya berkaca-kaca.. Air mataku turut banjir mendengar
kisahnya.
Aku mendapat penjelasan dari ibu mertua bahwa tadinya bapak
ditempatkan mengajar di dekat rumah namun bapak menolak karena penempatan itu
tidak sesuai isi SK Kementrian Agama. Di SK itu tertulis mengajar di sekolah
formal dan bukan di madrasah non formal . Maka, ia mencari sekolah dan ternyata
mendapatkannya di Nggunung, yang sepedah ontelnya saja tak mampu menembusnya
dan harus dititipkan di kaki gunung,
Hidupnya yang tanpa beban dan penuh keikhlasan dalam berbuat kebaikan,
mengingatkanku pada sebuah hadis Nabi.
Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Tiga
perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya
iman: Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain
keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena
Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar
ke neraka”. (HR. Bukhari:15)
Mbah
Mali juga orang yang enak untuk diajak ngobrol. Selain luwes, ia juga mudah
menjalin persahabatan. Aku merasa klop ketika ngobrol dengannya. Ia tak pernah
berbicara duluan 'pamer' kegagahan dan kebaikan masa mudanya.
Selamat Jalan Mbah Mali.
Komentar
Posting Komentar